Pendapat Para Ulama: Batasan Suami Nafkahi Istri

Avatar of PortalMadura.Com
Pendapat Para Ulama: Batasan Suami Nafkahi Istri
Ilustrasi

PortalMadura.Com – Sebagaimana kita ketahui Islam adalah agama yang mengajarkan dan menuntun kita ke jalan yang diridai-Nya melalui Al-Qur'an dan Hadist yang diturunkan pada Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT untuk umat manusia.

Ajaran tersebut mengatur segala kehidupan kita termasuk dalam hal pernikahan. Baik itu tahap perkenalan sebelum nikah (taaruf), proses nikah maupun saat menikah. Islam juga membahas permasalahan yang terjadi di dalamnya seperti besaran suami yang diberikan kepada istri.

Menafkahi istri hukumnya adalah wajib. Namun, hal tersebut sering kali menjadai perdebatan diantara keduanya mengenai besaran yang harus diberikan. Dalam Surah An-Nisa ayat 233 dijelaskan:

“Dan kewajiban ayah (suami) untuk memberi rizqi (nafkah) dan pakaian kepada ibu (istri) secara makruf.” (QS. An-Nisa' : 233).

Dari ayat tersebut jelas bahwa kewajiban suami memberi nafkah kepada istri ialah makruf. Makruf merupakan perbuatan baik yang bernilai ibadah dan sesuai dengan syariat Islam. Makruf juga bisa diartikan sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud ialah kebutuhan masing-masing tiap keluarga.

Ketika suami menganggap nafkah yang ia beri pada istri sudah cukup, padahal ia memiliki harta yang lebih. Kebutuhan sehari-hari secara kasat mata memang tak terlihat nilainya, namun jika dijalani ternyata sangat banyak. Untuk itu, seringkali istri mengeluh jika suami ‘pelit' memberikan nafkah.

Sebagian suami merasa bahwa nafkah yang diberikan kepada istrinya mungkin lebih sedikit jika dibandingkan dengan suami tetangga, tetapi karena istri pandai mengelolanya, nafkah yang sedikit cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Sebagian suami lainnya ada yang merasa telah cukup menafkahi keluarga, namun istrinya masih merasa kurang dan terus menuntut agar suaminya lebih keras dalam bekerja.

Ukuran nafkah antara seorang suami dengan suami yang lainnya sangat mungkin berbeda. Intinya, ukuran nafkah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mengenai kewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan suami, Allah SWT berfirman pada Surah Ath-Thalaaq ayat ke 7 yang berbunyi:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Thalaaq [65]: 7).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberi penjelasan:

“Engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan engkau jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah (tidak boleh memindahkan istrinya ke tempat lain, kemudian mendiamkannya di tempat tersebut).”

Sesuai dengan kemampuan suami, maksudnya adalah suami diwajibkan memberikan nafkah kepada istrinya sesuai dengan kelapangan rezeki yang Allah berikan kepadanya. Ukuran kemampuan itu merupakan hasil yang paling maksimal dari usaha yang maksimal pula. Dengan usaha yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan terbaiknya, suami akan mampu memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya.

Selain kebutuhan dan kemampuan, besaran nafkah bisa diberikan sesusai kesepakatan suami dan istri. Banyak ulama dan ahli agama yang menyebutkan jika nilai dari nafkah itu tergantung kesepakatan masing-masing, namun banyak suami yang tidak mau tahu urusan keperluan keluarga yang sangat banyak. Berikut beberapa pendapat ulama mengenai besaran nafkah sesuai kesepakatan masing-masing:

1. Memberi nafkah pada istri secukupnya

Mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian As Syafi'iyah dan sebagian madzab Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada standarisasi pemberian nafkah pada istri mengenai besarannya, maka mereka berpendapat jika dikembalikan pada unsur kepantasan atau kecukupan saja.

Menurut mereka hal ini juga termasuk penerjemahan dalam surat Al-Baqarah ayat 233 mengenai “memberi nafkah istri dengan nilai makruf” yang mereka maknai dengan kata “secukupnya” atau “sepantasnya” atau kurang lebih sewajarnya.

2. Pemberian nafkah dengan ukuran bahan makanan pokok

Mazhab Asy-Syafi'iyah secara muktamad, dan juga pendapat Al Qadhi dari kalangan Mazhab Hanabilah mengatakan bahwa jika ukuran pemberian nafkah adalah ukuran bahan makanan pokok yang diberikan perhari suami pada istri.

3. Kadar ukuran nafkah ditentukan oleh negara

Ulama bermazhab Asy-Syafi'iyah menganut pendapat bahwa jika disamakan dengan zaman sekarang, seperti memberikan UMR (Upah Minimum Regional) yang ditetapkan oleh pemerintah pada para pengusaha.

4. Pemberian nafkah berdasarkan tradisi yang berlaku disuatu tempat

Sebagian ulama Syafi'iyah menganut pendapat bahwa mungkin saja, ada perbedaan dalam menetapkan besaran nafkah di beberapa daerah. Misalnya dalam satu tempat memiliki aturan jika suami harus menyerahkan seluruh penghasilannya untuk istri, maka berlakulah hal itu ditempat tersebut, namun berbeda pula ditempat lain.

Pada dasarnya polemik besaran nafkah bukanlah suatu hal yang rumit. Mereka bisa merundingkan mengenai hal ini di awal menikah, apakah ingin berdasarkan kebutuhan, kemampuan, atau kesepakatan. Masing-masing pilihan memiliki kelebihan dan kekurangan. Semoga bermanfaat. (ummi-online.com/Nanik)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.