PortalMadura.Com – Saat ini lebih dari 2,3 juta penduduk di 210 negara di dunia terinfeksi Corona (Covid-19). Di Indonesia sendiri tercatat tidak kurang dari enam ribu kasus.
Baca Juga : Kasus Covid-19 di Indonesia Naik Jadi 6.575 Positif, 686 Pasien Sembuh
Keadaan ini selain menambah beban tugas tenaga kesehatan dan fasilitas perawatan di rumah sakit, yang perlu juga diperhatikan adalah terkait penanganan dan pengawasan limbah medis yang meningkat akibat pandemi Covid-19.
Meningkatnya limbah medis ini, salah seorang peneliti dan Guru Besar Farmasi Universitas Indonesia (UI) asal Kecamatan Socah, Bangkalan, Prof. Maksum Radji menguraikan pendapatnya, Minggu (19/4/2020).
Apa Itu Limbah Medis
Menurut Medical Waste Tracking Act (1988), limbah medis adalah limbah yang dihasilkan selama penelitian medis, pengujian, diagnosis, imunisasi, atau perawatan manusia maupun hewan.
Artinya, semua jenis sampah yang mengandung bahan infeksius, atau bahan yang berpotensi infeksius adalah limbah medis.
Umumnya, limbah medis berasal dari fasilitas kesehatan seperti tempat praktik dokter, rumah sakit, praktik gigi, laboratorium, fasilitas penelitian medis, klinik hewan, dsb.
Limbah medis dapat mengandung cairan tubuh seperti darah atau kontaminan lainnya, seperti cawan kultur, gelas, perban, sarung tangan, benda tajam seperti jarum suntik dan pisau bedah, atau penyeka, maupun tisu.
Limbah medis juga bisa berupa tempat bekas rendaman darah (sarung tangan, kain kasa, dll), spesimen jaringan manusia atau hewan yang dibuat selama prosedur pengobatan, setiap sampah yang dihasilkan dari kamar pasien dengan penyakit menular, bahkan bekas ampul atau botol vaksin.
Semakin tingginya kasus Covid-19 saat ini, menyebabkan dampak yang signifikan juga terhadap peningkatan volume limbah medis, baik secara global, maupun di Indonesia sendiri.
Covid-19 sangat mudah untuk menular, sehingga para tenaga kesehatan diwajibkan memakai Alat Pelindung Diri (APD) guna mencegah penularan saat penanganan pasien Covid-19. Sayangnya, sebagian besar APD hanya bisa sekali pakai, sehingga semua perlengkapan itu kemudian akan menjadi limbah medis.
Di Wuhan, China, pemerintah selain membangun fasilitas kesehatan baru untuk merawat pasien Covid-19, juga membangun fasilitas pengolahan limbah medis baru.
Hal itu dilakukan sebab saat puncak wabah, rumah sakit di Wuhan menghasilkan limbah medis enam kali lebih banyak dibandingkan sebelum kasus wabah Covid-19 itu terjadi.
Menurut Stericycle, sebuah perusahaan limbah medis yang menangani 1,8 miliar pound limbah medis secara global di 2018 mengatakan, beberapa hal yang sebelumnya tidak dianggap sebagai limbah medis, seperti makanan dan minuman, kini perlu ditangani lebih hati-hati setelah bersentuhan dengan pasien Covid-19.
Sebagaimana dilansir theverge.com, 26 Maret 2020, sampah medis di Amerika Serikat juga meningkat 6 kali lipat dibanding sebelum terjadinya wabah Covid-19.
Di China, sebagaimana dilansir South China Morning Post, sebelum wabah Covid-19, rumah sakit di Wuhan, menghasilkan sekitar 44 ton limbah medis per hari, Dan meningkat menjadi hampir 270 ton pada puncak pandemi.
Di Indonesia, menurut Sekjen Indonesian Environmental Scientists Association (IESA), akan terjadi penambahan limbah medis secara signifikan, mengingat wabah Covid-19 ini menyumbang penambahan bahan medis sekitar 14,3 kg per hari per pasien.
Jika angka ini digabungkan dengan permodelan puncak kasus Covid-19 yang diprediksi Tim FKM-UI dimana akan terjadi lonjakan yang sangat tinggi jika tidak ada larangan kuat dari pemerintah, sebagaimana dilansir PortalMadura.Com, maka bisa dibayangkan berapa ton penambahan limbah medis yang dihasilkan oleh pasien Covid-19 per harinya.
Prosedur Pengolahan Limbah Medis
Untuk mengantisipasi potensi bahaya limbah medis Covid-19, baik bagi kesehatan maupun lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan pedoman pengelolaan melalui Surat Edaran Mo.SE.2/MLHK/PSLB3/P.LB3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) tertanggal 24 Maret 2020.
Rumah sakit atau instansi kesehatan lain harus langkah khusus, seperti limbah medis infeksius yang dihasilkan harus disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan, lalu limbah itu harus dimusnahkan.
Ada dua cara memusnahkan limbah medis, pertama menggunakan incinerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat celcius, dan kedua menggunakan autoclave.
Residu hasil pembakaran atau pencacahan harus dikemas dan diberi label simbol beracun dan label limbah B3. Selanjutnya, disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3 sebelum diserahkan kepada pengelola limbah B3.
Limbah APD berupa masker, sarung tangan, serta baju pelindung diri harus dikemas tersendiri menggunakan kantong plastik tebal dan diberi tulisan limbah infeksius.
Petugas yang bertanggung jawab di lingkungan hidup, kebersihan, dan kesehatan, harus melakukan pengambilan secara rutin dari setiap sumber untuk diangkut ke lokasi pengumpulan yang telah ditentukan sebelum diserahkan ke pengolah limbah B3.
Petugas kebersihan yang bertugas menangani limbah medis dan mengangkut limbah juga wajib dilengkapi dengan APD berupa masker, sarung tangan, dan sepatu pengaman yang harus didisinfeksi dengan cairan disinfektan setiap hari.
Sebetulnya, selain limbah medis yang berasal dari rumah sakit, limbah yang lebih mengkhawatirkan adalah limbah yang dihasilkan oleh masyarakat.
Dengan meningkatnya kasus OTG (Orang Tanoa Gejala) Covid-19, dan orang dengan gejala Covid-19 ringan yang melakukan isolasi mandiri di rumah, dimana mereka juga menggunakan masker atau sarung tangan, manakala masker dan sarung tangan yang dikenakan tidak mendapatkan penanganan limbah semestinya, maka dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan.
Saat masker atau sarung tangan bekas itu dibuang ke tempat sampah seperti biasa, akan sangat membahayakan bagi pekerja kebersihan yang bertugas mengangkut sampah setiap hari.
Hal ini kemungkinan bisa saja terjadi, mengingat bahwa virus Covid-19, masih dapat bertahan hingga beberapa hari di permukaan benda padat ataupun yang berpori.
Oleh sebab itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menganjurkan bagi petugas yang menangani limbah medis termasuk limbah medis dari orang yang mengisolasi mandiri di rumah, untuk mengenakan perlengkapan yang sesuai, agar aman dan terhindar dari virus Covid-19.
Dampak Limbah Medis Terhadap Lingkungan
Pemanfaatan APD untuk menghindari Covid-19 semakin meningkat seiring meningkatnya kasus Covid-19. Karenanya, masyarakat harus waspada terhadap limbah infeksius dari penyakit ini.
Limbah medis Covid-19 ini perlu mendapat perhatian yang serius. Jika tidak ditangani dengan baik, sesuai dengan protokol baku penanganan limbah infeksius, maka limbah medis Covid-19, dapat menjadi sumber penularan.
Menurut Kemenkes, saat ini dari 2.852 rumah sakit, 9.909 puskesmas, dan 8.841 klinik, belum semuanya mampu mengelola mandiri limbah medisnya.
Dari 2.852 rumah sakit, baru 96 yang punya insenerator, yaitu alat yang mampu membakar limbah medis sampai habis.
Sementara Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, sebagaimana dilansir tirto.id, 6 April 2020 mengatakan, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai izin pengolahan limbah B3 hanya 85, dan tersebar di 20 provinsi, menggunakan insenerator atau autoklaf.
Namun demikian, kapasitas pengolahan limbah medis ini masih sangat terbatas. Penanganan limbah medis adalah bagian utama dari perang melawan wabah Covid-19. Sehingga peran pemerintah dan pihak yang terkait perlu mempercepat peningkatan kapasitas pengelolaan dan pengolahan limbah medis Covid-19 agar tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Penanganan limbah medis yang tidak tepat, apalagi jika tidak tertangani akibat volume limbah yang semakin meningkat tentu akan menimbulkan dampak buruk pada lingkungan.
Di Indonesia, saat ini sebagian besar penanganan limbah medis dilakukan dengan pembakaran (insinerator). Sementara di beberapa negara lain telah menghindari insinerator karena masalah kesehatan dan lingkungan.
Para pegiat lingkungan telah memperingatkan bahwa penggunaan insinerator secara berlebihan dapat berkontribusi terhadap polusi udara. Karena itu, sebaiknya dilengkapi dengan alat pengontrol polusi udara, agarnemisi yang dihasilkan masih sesuai dengan standar yang berlaku.
Selain itu proses pembakaran dengan insinerator, juga dapat meningkatkan kadar dioksin dan furan di lingkungan yang berbahaya bagi kesehatan.
Penanganan Masker Bekas Pakai
Masalah lain yang juga penting adalah bagaimana mengedukasi masyarakat, tentang cara membuang limbah masker dan alat pelindung lainnya setelah digunakan.
Itu perlu diketahui oleh masyarakat, karena peningkatan limbah masker bekas pakai dikhawatirkan dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dengan mendaur ulang masker bekas pakai tersebut untuk dijual kembali di pasaran.
Pananganan masker dapat dikategorikan menjadi 3 cara, yaitu; Masker dari orang yang positif terinfeksi virus Covid-19, harus dikumpulkan dan dibuang di fasilitas penanganan limbah medis Covid-19.
Masker yang digunakan orang sehat bisa diatasi dengan cara direbus atau dirobek sebelum dibuang ke tempat sampah umum setelah didisinfeksi.
Namun untuk limbah masker yang digunakan oleh orang-orang dengan kasus ODP, atau yang sedang isolasi mandiri, dan orang dengan gejala ringan, maka harus diperlakukan sesuai dengan standar untuk limbah medis.
Seperti dilansir covid19.kemkes.go.id, ada beberapa tahapan dan cara mengelola masker yang telah dipakai, agar tidak menjadi media penularan virus Covid-19. Yang penting adalah untuk masker sekali pakai, sebelum dibuang harus dirobek terlebih dulu atau diotong-potong sebelum dibuang ke wadah tertutup untuk mencegah penggunaan kembali.
Diharapkan dengan mengikuti cara pengelolaan masker bekas pakai dengan benar ini, potensi risiko penularan dan penyalahgunaan penggunaan masker dapat dihindari. Selain itu, kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai masker akan meminimalisir potensi penularan virus Covid-19 ataupun mikroba lainnya.
Semoga pengelolaan limbah medis Covid-19 ini dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, serta didukung oleh kesadaran masyarakat agar limbah medis ini, tidak menjadi sumber penularan Covid-19.(*)