PortalMadura.com – Jika ada satu hal yang telah mencatat sejarah manusia dengan tinta pekat, itu adalah pencarian identitas, ras, dan ambisi yang menyertainya. Dalam lintasan sejarah panjang umat manusia, kita menyaksikan bagaimana ras bukan sekadar pengelompokan biologis, tetapi juga menjadi alat politik, sosial, dan budaya.
Ambisi, di sisi lain, meluap seperti sungai yang terus mengalir tanpa henti, sering kali menerjang batas-batas rasial dan kultural, namun kadang terhenti oleh sekat-sekat itu sendiri. Ada saat ketika ras menjadi kekuatan yang membebaskan, namun ada juga ketika ras justru menjadi belenggu yang tak terlihat, tetapi terasa dalam setiap tindak tanduk manusia.
Pertanyaannya kemudian: Bagaimana kita melihat ras dalam kaitannya dengan ambisi? Apakah ras sebagai identitas menghalangi atau justru memfasilitasi ambisi individu? Apakah struktur sosial dan politik yang dibentuk di sekitar ras mengekang ambisi, atau apakah ambisi itu sendiri dapat melampaui batas-batas rasial?
Kita bisa mulai dengan catatan sejarah. Ras, sebagai kategori sosial, telah ada selama ribuan tahun, tetapi konsep ras dalam bentuk modern, yang menempatkan manusia dalam hierarki berdasarkan warna kulit dan ciri-ciri fisik lainnya, berkembang dalam konteks kolonialisme dan kapitalisme global. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, misalnya, konsep “ras unggul” sering digunakan untuk membenarkan penindasan terhadap ras lain. Di Eropa, pemikiran ini mendapatkan tempat melalui teori-teori ilmiah semu seperti eugenika, yang merasionalisasi dominasi satu kelompok rasial atas yang lain. Kita ingat bagaimana Hitler dan rezim Nazi mengambil ide ini hingga ekstrimnya, yang memunculkan tragedi Holocaust.
Ambisi para pemimpin politik atau militer pada zaman itu sering kali bersandar pada narasi rasial. Mereka menggambarkan diri mereka sebagai pembela ras unggul yang ditakdirkan untuk memimpin dunia, dan dari situ lahirlah imperialisme serta nasionalisme yang agresif. Di sisi lain, mereka yang berasal dari kelompok ras yang terpinggirkan, kerap dipandang sebagai bagian dari “ras rendah”, menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengekspresikan ambisi mereka.
Namun, ambisi tidak selalu tunduk pada narasi rasial yang mendominasi. Martin Luther King Jr., misalnya, dengan pidatonya yang menggetarkan jiwa, menolak untuk tunduk pada narasi rasial Amerika yang memisahkan orang berdasarkan warna kulit mereka. “I Have a Dream” bukan sekadar pidato yang memohon kesetaraan; itu adalah ungkapan ambisi kolektif dari suatu bangsa untuk melihat manusia sebagai manusia, tanpa dikotomi warna kulit yang kaku. Dalam konteks ini, ambisi Martin Luther King Jr. melampaui sekat-sekat rasial, mendorongnya untuk bermimpi tentang dunia yang lebih inklusif.
Jika kita beralih ke ranah budaya dan seni, ras dan ambisi memiliki dinamika yang berbeda namun serupa. Penulis dan seniman kulit hitam seperti James Baldwin atau Toni Morrison, melalui karya-karyanya, sering kali menggugat narasi rasial dalam masyarakat Amerika. Baldwin, dalam esai-esainya yang menggugah, sering kali mengecam standar rasial yang menekan kreatifitas manusia kulit hitam. Ambisi mereka untuk menghasilkan karya seni yang otentik dan jujur berhadapan langsung dengan ekspektasi sosial yang menuntut mereka tetap dalam kotak-kotak stereotip.
Dalam bukunya, The Fire Next Time, Baldwin menulis tentang bagaimana Amerika, dengan sejarah perbudakannya, harus menghadapi masa lalunya sebelum dapat benar-benar merdeka dari ikatan rasial yang membelenggu. Baldwin berbicara dengan suara yang penuh kemarahan, namun juga dengan cinta yang mendalam kepada negaranya. Di sini, ambisinya sebagai penulis adalah untuk mengungkap kebenaran, betapa pun pahitnya, dan untuk memaksa Amerika melihat dirinya di cermin dan menyadari luka-luka yang dihasilkan dari sejarah panjang rasialisme.
Di sisi lain, Morrison, dalam Beloved dan karya-karya lainnya, menulis tentang trauma rasial yang ditinggalkan oleh perbudakan, tetapi juga tentang kekuatan komunitas kulit hitam dalam menghadapi penindasan tersebut. Ambisi Morrison bukan hanya untuk menulis kisah yang indah, tetapi untuk menyampaikan narasi yang selama ini diabaikan oleh sejarah dominan. Ia menantang konsep universalitas yang sering kali hanya melayani kelompok tertentu, dan sebaliknya mengangkat pengalaman kulit hitam sebagai pusat dari narasi budaya Amerika.
Namun, ras dan ambisi bukan hanya cerita Amerika. Jika kita bergerak ke wilayah lain, kita akan menemukan pola yang serupa tetapi berbeda dalam konteks. Di India, misalnya, ambisi gerakan anti-kolonialisme Gandhi juga terikat dengan narasi rasial. Penjajah Inggris memandang orang India sebagai ras inferior yang tidak mampu memerintah diri mereka sendiri. Gandhi menantang gagasan ini dengan ambisinya yang besar untuk membebaskan India melalui prinsip ahimsa (non-kekerasan).
Ambisi Gandhi tidak hanya terbatas pada kemerdekaan politik; ia juga bermimpi tentang masyarakat yang lebih egaliter, di mana ras, kasta, dan agama tidak lagi menjadi pembeda yang signifikan. Tetapi, seperti halnya di mana pun, narasi rasial juga bisa berbalik. Di Afrika Selatan, apartheid menunjukkan wajah ambisi yang sangat berbeda. Di sini, negara dan masyarakat beroperasi secara sadar di bawah sistem yang mengatur dan memperkuat diskriminasi rasial. Para pemimpin apartheid menggunakan ras sebagai alat untuk menjustifikasi dominasi ekonomi dan politik minoritas kulit putih atas mayoritas kulit hitam. Ambisi mereka adalah untuk mempertahankan status quo yang tidak adil.
Namun, munculnya tokoh seperti Nelson Mandela mengubah narasi ini. Ambisi Mandela untuk menciptakan Afrika Selatan yang bebas dari penindasan rasial tidak hanya dilihat sebagai perlawanan politik, tetapi juga sebagai perjuangan moral yang lebih besar. Seperti halnya Martin Luther King Jr., Mandela juga memiliki visi tentang bangsa yang melampaui sekat-sekat rasial.
Apa yang menarik dari semua contoh ini adalah bahwa meskipun ras dapat menjadi penghalang, ambisi manusia sering kali lebih besar daripada batas-batas yang diciptakan oleh masyarakat. Ambisi pribadi atau kolektif tidak selalu dibatasi oleh ras, tetapi sering kali justru tumbuh sebagai reaksi terhadap ketidakadilan yang dihasilkan oleh konstruksi rasial.
Di balik semua ini, ada pertanyaan mendasar yang menyentuh filsafat eksistensial: Apakah ambisi kita ditentukan oleh identitas kita, atau apakah kita dapat melampaui identitas kita untuk mencapai sesuatu yang lebih besar? Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness menulis tentang konsep bad faith, di mana manusia sering kali bersembunyi di balik identitas yang diciptakan oleh masyarakat, daripada mengambil tanggung jawab penuh atas kebebasan mereka. Bagi Sartre, kita memiliki kebebasan radikal untuk menentukan siapa diri kita, tetapi sering kali kita memilih untuk tidak menggunakan kebebasan ini karena takut akan konsekuensi dari kebebasan yang sebenarnya.
Dalam konteks ras dan ambisi, Sartre menawarkan lensa yang menarik. Seseorang yang terjebak dalam kategori rasial yang diciptakan oleh masyarakat mungkin merasa bahwa ambisi mereka terbatas oleh sekat-sekat tersebut. Namun, dalam pandangan Sartre, ini adalah bentuk bad faith. Manusia memiliki kebebasan untuk menolak identitas yang diberikan kepada mereka dan menciptakan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, meskipun ras sebagai konstruksi sosial dapat memengaruhi bagaimana kita dilihat oleh dunia, itu tidak harus menentukan siapa kita dan apa yang bisa kita capai.
Namun, Sartre mungkin sedikit terlalu optimis dalam pandangannya tentang kebebasan manusia. Di dunia nyata, identitas rasial memiliki konsekuensi yang nyata dan sering kali membatasi akses seseorang terhadap sumber daya atau kesempatan. Tetapi, ini tidak berarti bahwa ambisi tidak dapat melampaui batas-batas tersebut. Seperti yang telah kita lihat dari contoh-contoh sebelumnya, banyak individu yang berhasil menantang narasi rasial dominan dan mencapai sesuatu yang lebih besar dari apa yang diharapkan oleh masyarakat.
Kembali ke pertanyaan awal: Bagaimana kita harus memahami hubungan antara ras dan ambisi? Mungkin jawaban terbaik adalah bahwa hubungan ini bersifat dialektis. Di satu sisi, ras dapat menjadi penghalang yang membatasi ambisi individu atau kelompok. Di sisi lain, ambisi juga dapat menjadi kekuatan yang memecah sekat-sekat rasial dan menciptakan dunia yang lebih inklusif. Ambisi manusia, ketika diarahkan dengan cara yang benar, dapat menjadi alat untuk melampaui konstruksi sosial yang menindas.
Pada akhirnya, ras dan ambisi adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya mencerminkan aspek fundamental dari pengalaman manusia: keinginan untuk dikenali dan diterima, serta dorongan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Jika kita dapat memahami dinamika ini, mungkin kita akan lebih siap untuk menghadapi tantangan-tantangan sosial, politik, dan budaya yang ada di hadapan kita.***