PortalMadura.com – Sumpah Pemuda yang digaungkan pada 28 Oktober 1928 menjadi fondasi semangat kebangsaan Indonesia. Namun, semangat tersebut bukanlah sesuatu yang statis—ia berkembang, melampaui batas waktu dan generasi. Kini, di tangan Gen Z, Sumpah Pemuda tidak lagi sekadar janji yang terucap di sebuah kongres atau catatan sejarah yang dilupakan. Gen Z, yang hidup dalam dunia serba digital, multikultural, dan penuh perubahan, memandang Sumpah Pemuda dari kacamata baru. Pertanyaannya, apakah sumpah yang pernah menjadi pilar persatuan itu masih relevan? Ataukah ia sekadar catatan antik di museum sejarah?
Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri tantangan, peluang, dan renungan dari perspektif sosial, politik, dan budaya yang menyelubungi Gen Z. Melalui refleksi kritis, kita akan memahami bagaimana generasi ini memahami dan menghidupi nilai-nilai kebangsaan di tengah dunia yang berubah dengan cepat.
Gen Z: Sebuah Paradoks Kebangsaan
Sumpah Pemuda lahir di masa kolonial, ketika Indonesia belum merdeka. Kala itu, pemuda-pemuda dari berbagai daerah berkumpul untuk berjanji tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Sebuah janji yang melampaui sekat-sekat etnisitas dan kepentingan lokal demi sebuah cita-cita besar: Indonesia merdeka. Namun, berbeda dengan generasi di masa itu, Gen Z hidup dalam kebebasan, di mana kolonialisme dalam bentuk fisik telah lama berlalu.
Namun, justru di tengah kebebasan ini, mereka menghadapi paradoks kebangsaan. Di satu sisi, Gen Z adalah generasi yang lahir dari kemajuan teknologi, dengan akses ke informasi tanpa batas dan hubungan lintas budaya yang intens. Internet menghapus jarak geografis dan menciptakan “kampung global,” sebuah tempat di mana batas-batas negara memudar. Di sisi lain, kebebasan ini justru menciptakan kebingungan identitas. Ketika batas-batas menjadi kabur, apakah mereka masih melihat dirinya sebagai “Indonesia,” atau lebih kepada warga dunia yang tidak terikat oleh batas-batas negara?
Seperti kata Benedict Anderson, negara adalah “komunitas terbayang.” Namun, bayangan tentang Indonesia mungkin terasa samar bagi Gen Z. Dalam survei yang dilakukan oleh Indonesian Millennial and Gen-Z Research Institute pada 2023, sekitar 30% dari responden menyatakan bahwa identitas nasional mereka bukanlah hal yang mendominasi, dan mereka lebih melihat diri sebagai warga dunia. Ini bukan berarti mereka tak peduli, tetapi identitas mereka lebih beragam dan lebih kompleks.
Kebudayaan Pop dan Sumpah Pemuda
Kebudayaan populer adalah bahasa universal bagi Gen Z. Dari K-pop hingga Netflix, dari Instagram hingga TikTok, budaya pop menjadi media utama mereka. Lalu, di mana letak kebudayaan nasional dalam peta hidup Gen Z ini? Apakah Sumpah Pemuda, yang seharusnya menyatukan, masih memiliki daya tarik di antara budaya-budaya asing yang membanjiri mereka?
Menurut filsuf budaya Terry Eagleton, budaya bukan hanya soal gaya hidup atau selera, tapi juga cara kita memahami dunia. Gen Z hidup dalam budaya “copy-paste,” di mana mereka mengambil sedikit dari sini dan sedikit dari sana, menggabungkannya menjadi identitas yang cair dan berubah-ubah. Dalam arti ini, Sumpah Pemuda di tangan Gen Z bisa jadi tak lagi sama seperti yang diucapkan oleh generasi sebelumnya. Bagi mereka, sumpah bukan hanya tentang kesatuan geografis atau bahasa, tetapi tentang kesamaan nilai dan pandangan hidup.
Sebagai contoh, kampanye “Youth for Climate” yang menggema di dunia maya memperlihatkan bahwa bagi Gen Z, identitas bisa lebih fleksibel. Mereka bisa mengangkat isu lingkungan, hak-hak minoritas, dan keadilan sosial sebagai “sumpah” baru, bentuk komitmen yang bisa mereka hidupi. Indonesia tidak lagi sekadar tanah dan bahasa, tetapi nilai dan prinsip yang dihidupi dan dipraktikkan.
Bahasa: Antara Keberagaman dan Keberjarakan
Bahasa Indonesia adalah salah satu aspek utama dari Sumpah Pemuda, tetapi dalam praktiknya, bahasa juga menjadi arena pertarungan antara tradisi dan modernitas bagi Gen Z. Bahasa yang digunakan oleh mereka bukan lagi sekadar bahasa Indonesia formal, tetapi campuran dari bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa gaul yang terus berubah. Dalam media sosial, kita melihat penggunaan bahasa yang “serampangan,” di mana kata-kata disingkat, digabungkan, dan diimprovisasi.
Mungkinkah bahasa seperti ini menjauhkan Gen Z dari makna asli Sumpah Pemuda? Atau justru mereka sedang menciptakan bahasa yang lebih inklusif dan mencerminkan zaman?
Menarik untuk direnungkan bahwa George Orwell dalam esainya “Politics and the English Language” menekankan bahwa bahasa mencerminkan cara berpikir. Dengan bahasa yang semakin cair, mungkinkah cara berpikir kebangsaan Gen Z pun menjadi lebih cair? Ada kecenderungan untuk menghindari bahasa formal yang dianggap “kaku” dan “usang.” Di sisi lain, inilah tanda bahwa bahasa selalu berkembang dan mengikuti zaman.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi; ia adalah cara pandang dan perwujudan ide. Ketika Gen Z mencampur adukkan bahasa, apakah itu bentuk pemberontakan atau adaptasi? Sumpah Pemuda yang menekankan satu bahasa mungkin harus dipahami sebagai “satu bahasa yang terus berkembang,” bukan dalam arti satu bahasa baku yang tidak boleh berubah. Bahasa Indonesia tetap ada, namun dalam rupa yang lebih cair dan terbuka.
Sosial Media dan Kebangsaan
Media sosial adalah arena utama tempat Gen Z berinteraksi, berekspresi, dan membangun identitas. Di sana, nilai-nilai kebangsaan sering kali berinteraksi dengan ide-ide dari luar. Dalam survei We Are Social 2022, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial terbanyak di dunia. Ini menunjukkan bahwa Gen Z hidup dalam arus informasi yang luar biasa cepat dan beragam. Namun, apakah arus ini membuat mereka lebih nasionalis atau justru sebaliknya?
Ironisnya, di dunia maya yang tanpa batas ini, Gen Z sering kali merasa lebih terisolasi. Dalam “kehidupan virtual” mereka, mereka terhubung dengan semua orang, namun merasa kurang memiliki ikatan yang mendalam. Mereka mungkin mengenal budaya pop Korea atau Amerika lebih baik daripada sejarah bangsanya sendiri. Di sinilah media sosial menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memudahkan komunikasi dan akses informasi; di sisi lain, ia bisa menciptakan jarak dari identitas nasional.
Bagaimana seharusnya Sumpah Pemuda dihidupi di dunia maya? Apakah dengan berbicara soal nasionalisme atau malah mengekspresikan nilai-nilai yang lebih universal? Gen Z mungkin tidak merasa harus memilih. Mereka bisa mencintai budaya asing sambil tetap merasa Indonesia. Sumpah Pemuda di era media sosial adalah sumpah untuk tetap terhubung—meskipun, bentuk koneksi itu lebih cair dan tidak mudah ditebak.
Esensi di Balik Kurikulum Pendidikan
Pendidikan adalah kunci untuk menjaga agar semangat Sumpah Pemuda tetap hidup. Namun, bagaimana pendidikan di Indonesia memperkenalkan konsep kebangsaan kepada Gen Z? Kurikulum yang ada sering kali fokus pada hafalan dan sejarah, tetapi tidak banyak mengajarkan esensi dan makna dari kebangsaan. Sebagai hasilnya, banyak dari Gen Z yang menganggap kebangsaan sebagai sesuatu yang “dipaksakan” atau “usang.”
Menurut Paulo Freire dalam “Pendidikan Kaum Tertindas,” pendidikan yang ideal harus membebaskan dan memberi kesempatan bagi siswa untuk menemukan pemikiran kritis. Namun, pendidikan kita sering kali masih bersifat top-down, dengan siswa dianggap sebagai “wadah kosong” yang perlu diisi. Padahal, jika kita ingin menanamkan semangat kebangsaan yang sejati, pendidikan harus memungkinkan mereka untuk mengalami dan memahami nilai-nilai tersebut, bukan sekadar menghafal tanggal atau tokoh sejarah.
Pendidikan yang memaksa hanya menciptakan kepatuhan tanpa pemahaman. Gen Z membutuhkan pendidikan yang memberi mereka ruang untuk bertanya, untuk meragukan, dan akhirnya, untuk menemukan nilai-nilai yang sesuai dengan zaman mereka. Sumpah Pemuda di ruang kelas seharusnya bukan hanya teks yang dibaca, tetapi konsep yang bisa mereka tafsirkan dan sesuaikan dengan konteks zaman.
Filosofi Persatuan dalam Fragmentasi
Filsafat Sumpah Pemuda adalah tentang persatuan di tengah keberagaman, sebuah konsep yang tampak indah di atas kertas namun sulit diimplementasikan dalam kenyataan. Gen Z, dengan identitas yang multikultural, menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan persatuan di tengah gempuran identitas global. Filosofi ini menjadi lebih kompleks dalam era digital, di mana identitas pribadi dan kelompok saling berbenturan.
Dari perspektif filsafat, mungkin ini adalah bentuk “persatuan dalam perbedaan” yang pernah dikemukakan oleh pemikir seperti Hegel. Mereka tidak perlu merasa identik dalam semua hal untuk bersatu, melainkan menemukan harmoni dalam perbedaan, menggabungkan berbagai identitas yang mereka miliki dalam sebuah bentuk kesatuan yang baru. Bagi Hegel, perkembangan dialektis suatu masyarakat adalah proses menemukan sintesis antara dua elemen yang berbeda. Maka, dalam konteks Gen Z, persatuan bukan lagi tentang menjadi identik, tetapi tentang menemukan titik temu di antara keberagaman, di mana perbedaan adalah bagian dari kekuatan persatuan itu sendiri.
Namun, ini bukanlah proses yang mudah. Saat internet memberikan wadah bagi berbagai macam identitas dan pandangan, Gen Z juga dihadapkan pada banyak perbedaan pendapat dan, kadang-kadang, konflik identitas. Mereka harus berhadapan dengan fragmentasi sosial dan politik yang hadir sebagai konsekuensi dari keterbukaan informasi dan kebebasan berbicara. Dalam sebuah survei yang diadakan oleh Pew Research Center, ditemukan bahwa generasi muda saat ini lebih rentan terhadap pengaruh informasi ekstremis, baik di bidang politik, sosial, maupun keagamaan. Dalam keadaan seperti ini, di mana fragmentasi justru menjadi ancaman nyata bagi persatuan, bagaimana Gen Z bisa menemukan kembali nilai persatuan yang dulu digaungkan oleh Sumpah Pemuda?
Persatuan dalam konteks Gen Z mungkin tidak lagi berarti menyeragamkan atau meniadakan perbedaan. Mereka mungkin lebih cenderung mengadopsi bentuk persatuan yang berbasis kolaborasi, di mana perbedaan dipertahankan, tetapi ada kesepakatan untuk bersatu demi tujuan bersama. Ini tercermin dalam berbagai gerakan sosial Gen Z yang sering kali lintas ideologi, lintas komunitas, bahkan lintas negara. Mereka bisa bersatu dalam isu-isu seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, atau kesetaraan gender tanpa harus menanggalkan identitas mereka masing-masing.
Revitalisasi Nilai Sumpah Pemuda dalam Era Post-Truth
Kita hidup di era post-truth, di mana fakta dan kebenaran sering kali dikaburkan oleh opini dan narasi yang didesain untuk memanipulasi emosi. Dalam kondisi seperti ini, semangat persatuan yang diemban oleh Sumpah Pemuda mendapat tantangan besar. Informasi palsu, propaganda, dan berita bohong menyebar cepat, mempengaruhi opini publik, dan sering kali memecah belah masyarakat. Gen Z, yang sehari-hari terpapar oleh arus informasi digital yang luar biasa deras, menjadi generasi yang paling rentan terhadap fenomena ini.
Bagaimana Sumpah Pemuda bisa bermakna di tengah kebenaran yang terus-menerus dikaburkan? Salah satu jawabannya adalah dengan memperkuat budaya literasi dan berpikir kritis. Dalam esainya, “On Truth and Lies in a Nonmoral Sense,” Friedrich Nietzsche menekankan bahwa kebenaran sering kali merupakan ilusi yang kita sepakati bersama. Ini berarti bahwa jika Gen Z ingin mempertahankan semangat persatuan, mereka harus secara aktif terlibat dalam membentuk, menguji, dan mempertanyakan “kebenaran” yang ada di sekitar mereka.
Sebagai generasi yang akrab dengan teknologi dan media sosial, Gen Z memiliki potensi besar untuk membangun kesadaran kolektif yang lebih kritis. Mereka bisa menggunakan platform-platform ini untuk mempromosikan kebenaran dan mengatasi perpecahan yang muncul akibat penyebaran informasi palsu. Sumpah Pemuda dalam konteks ini berarti berjanji untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya, melampaui batasan algoritma dan filter media sosial yang sering kali menyaring pandangan berbeda. Literasi digital menjadi sumpah baru untuk mempertahankan persatuan dalam keberagaman informasi.
Sumpah Pemuda sebagai Tindakan, Bukan Sekadar Deklarasi
Di balik pernyataan Sumpah Pemuda, tersembunyi esensi penting yang tak hanya tentang sekadar berkata “kami bersatu,” tetapi juga tentang bertindak. Dalam konteks Gen Z, sumpah bukan sekadar deklarasi yang diucapkan di sebuah upacara, melainkan tindakan yang mereka lakukan sehari-hari. Mereka menyatakan “Sumpah Pemuda” tidak hanya dengan kata, tetapi dengan aksi nyata yang sesuai dengan konteks zaman mereka.
Contoh yang konkret adalah keterlibatan mereka dalam berbagai gerakan sosial dan kemanusiaan, seperti yang terjadi pada gerakan #ReformasiDikorupsi, di mana ribuan pemuda turun ke jalan untuk menuntut keadilan dan menentang ketidakadilan. Ini menunjukkan bahwa bagi Gen Z, Sumpah Pemuda adalah janji untuk bertindak, bukan sekadar kata-kata. Mereka merasa bertanggung jawab untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari, dengan berbagai cara yang mungkin tidak selalu konvensional.
Keterlibatan Gen Z dalam politik pun tidak selalu berbentuk formal atau struktural. Mereka lebih banyak terlibat dalam aktivisme digital, menggalang dukungan melalui petisi online, kampanye hashtag, atau menyuarakan pendapat mereka melalui video dan konten kreatif. Tindakan-tindakan ini, meskipun terlihat sederhana, sebenarnya adalah bentuk nyata dari komitmen mereka terhadap nilai-nilai yang diemban oleh Sumpah Pemuda. Bagi mereka, nasionalisme dan kebangsaan bukan sekadar konsep abstrak, tetapi sesuatu yang harus diwujudkan dalam bentuk aksi konkret.
Sumpah Pemuda dan Masa Depan Identitas Indonesia
Jika kita mencoba merangkum seluruh perdebatan ini, Sumpah Pemuda di tangan Gen Z adalah sebuah transformasi dari konsep persatuan yang kaku menjadi persatuan yang fleksibel dan adaptif. Mereka tidak lagi merasa harus “sama” untuk bersatu, tetapi memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus dirayakan. Gen Z adalah generasi yang tidak takut untuk bertanya, tidak takut untuk meragukan, dan bahkan tidak takut untuk menantang norma-norma yang sudah ada, termasuk konsep kebangsaan itu sendiri.
Namun, di tengah semua kebebasan dan keterbukaan ini, tantangan besar tetap ada. Ketika mereka terus hidup dalam arus informasi global, apakah mereka akan tetap ingat pada identitas dan akar mereka sebagai bangsa Indonesia? Apakah sumpah untuk “berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” masih bisa dipertahankan ketika batas-batas kebangsaan semakin kabur?
Di sinilah tugas kita semua—para orang tua, pendidik, pemimpin, dan komunitas—untuk terus menjaga semangat Sumpah Pemuda tetap hidup. Bukan dengan cara memaksa atau memonopoli definisi kebangsaan, tetapi dengan memberikan ruang bagi Gen Z untuk menemukan makna kebangsaan mereka sendiri, sesuai dengan konteks dan tantangan zaman mereka.
Pada akhirnya, Sumpah Pemuda bukanlah sesuatu yang mati dalam teks, tetapi sesuatu yang hidup dalam hati dan tindakan. Di tangan Gen Z, sumpah itu mungkin akan terlihat berbeda, terdengar berbeda, dan dirasakan berbeda. Namun, selama nilai-nilai kebangsaan—persatuan, kebersamaan, dan semangat solidaritas—tetap ada, maka Sumpah Pemuda akan terus relevan. Bagi Gen Z, mungkin sumpah mereka adalah janji untuk menjadi bagian dari dunia yang lebih besar, tetapi tetap menjaga akar mereka sebagai anak bangsa.
Sumpah Pemuda bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga tantangan bagi setiap generasi untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menghidupi nilai-nilai kebangsaan. Bagi Gen Z, Sumpah Pemuda mungkin bukan lagi soal mengucapkan janji kebangsaan dalam upacara formal. Ia adalah sebuah panggilan untuk beraksi, sebuah janji untuk selalu terhubung, untuk selalu mencari kebenaran, dan untuk selalu bertindak demi keadilan dan kemanusiaan.
Mungkin benar, bahwa Sumpah Pemuda yang mereka ucapkan tidak persis sama dengan sumpah yang diikrarkan pada tahun 1928. Tetapi esensinya, jiwa dari sumpah itu, tetap sama: semangat untuk bersatu dalam keberagaman dan untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Di tangan Gen Z, sumpah itu menemukan maknanya yang baru—makna yang lahir dari dunia yang terus berubah, namun tetap berpijak pada nilai-nilai yang abadi.***