PortalMadura.Com, Sumenep – Keberadaan makam (pesarean) di Desa Juruan Daya, Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur yang lebih familiar disebut ‘Asta Juruan’ oleh warga sekitar mempunyai keunikan dan kelebihan tersendiri.
Meski lokasinya mencapai lebih dari 24 kilo meter (km) dari jantung kota Sumenep ke arah utara. Namun, pengunjung dari berbagai daerah, khususnya Jawa Timur tidak pernah sepi, seperti dari Banyuwangi, Situbondo, Jember dan daerah sekitarnya.
Mereka ada yang menggunakan mobil pribadi, angkutan umum, bahkan ada yang menggunakan bus. Saat menggunakan angkutan besar seperti bus, maka harus diparkir di simpang 3 Desa Tengedan, Batuputih yang jaraknya kurang lebih 5 km. Mereka harus sewa angkutan lain, karena kondisi jalan sempit dan banyak tikungan tajam.
Hampir setiap hari Asta Juruan tersebut dipadati pengunjung dari luar daerah. Sedangkan masyarakat sekitar lebih suka berkunjung pada hari-hari tertentu, seperti hari Jumat dan Selasa. Mereka datang untuk berdoa kepada Allah SWT dan berharap hajatnya di kabulkan.
Siapa Asta Juruan Itu?
Dihimpun dari berbagai sumber, Asta Juruan adalah nama familiar yang digunakan oleh warga setempat. Asta sebutan lain dari makam dan Juruan adalah nama depan desa yang ditempati, Desa Juruan Daya. Ia adalah waliyullah yang meninggal dunia di daerah pegunungan.
Dilingkungan Keraton Sumenep menyebutnya Siding Margo. “Artinya, sido ing margo. Mate e gunung (meninggal dunia di gunung),” terang salah seroang sejarawan Sumenep, Tajul Arifin pada PortalMadura.Com.
Sebutan Siding Margo tersebut tidak begitu dikenal oleh warga sekitar Asta Juruan. Mereka menyebutnya, Raden Fatah. Ia adalah salah satu penyebar agama Islam pada abat ke-16 (bukan abat ke-15) di wilayah utara dari kota Sumenep.
Siding Margo (Raden Fatah) merupakan saudara dari Pangeran Katandur (Sayyid Ahmad Baidlawi yang makamnya ada di Desa Bangkal, Sumenep) dan merupakan cucu dari Sunan Kudus (Jakfar Sodik bin Sunan Ngudung).
Keduanya adalah putra dari Sayyid Amir Hasan Sunan Pakaos (Panembahan Pakaan) dari 12 bersaudara. Pangeran Katandur merupakan anak yang ke-9 dan Siding Margo (Raden Fatah) sendiri putra yang ke-12.
Berikut silsilah singkatnya:
Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Katandur), bin~
Sayyid Amir Hasan Sunan Pakaos / Panembahan Pakaan, bin~
Sayyid Jakfar Shodiq Sunan Kudus, bin~
Sayyid Usyman Haji Sunan Ngudung, bin~
Sayyid Ali Murtadha Sunan Lembayung Fadlal (Rato Pandita Sepudi).
Sedangkan Sayyid Ali Murtadha ini merupakan keturunan Rasulullah SAW yang ke 21.
Waliyullah tersebut merupakan keturunan Rasulullah SAW dari Sayyidatina Fatimah RA dari Sayyidina Husien bin Abitholib RA. (Nukil dari kitab Al Faqir Mujahidun al Tarikhul Auliyak yang ditulis KH Bisri Mustofa -Rembang).
‘Telisik’ Kesukaan Siding Margo (Asta Juruan)
Sebelum tahun 90-an, warga sekitar yang mempunyai hajat mayoritas nanggap musik tradisional Saronen. Bahkan, saat berkunjung ke Asta Juruan, membawa group musik Saronen adalah sebuah keharusan. Mereka beranggapan kurang afdal bila tidak membawa group musik yang sampai saat ini berkembang pesat di daerah itu.
Mereka rela berjalan kaki meski dengan kondisi jalan berlumpur. Jalan menuju Asta Juruan baru di aspal tahun 1992 melalui program ABRI masuk desa ke daerah tersebut.
Kenapa harus musik Saronen?. Ternyata, musik Saronen adalah kesukaan dari Siding Margo yang dijadikan salah satu alat media dakwa pada zamannya.
Tempo dulu, pada saat menggelar selamatan tahunan (haul akbar) di Asta Juruan, pengelola Asta Juruan juga menggelar pertunjukan musik saronen. Kesenian ludruk ikut digelar dari siang hari hingga semalam suntuk.
Kegiatan tersebut mempunyai nilai sangat sakral bagi lingkungan sekitar dan terkandung makna tersendiri. Tak ayal, saat perayaan tahunan tersebut, warga sekitar yang mayoritas petani berbondong-bondong membawa hasil panennya. Hewan ternak pun “dilepas” (dipersembahkan) pada pengelola untuk acara ritual tersebut.
Dalam perkembangannya, selamatan tahunan diganti dengan pembacaan tahlil dan menghatamkan Al-Quran oleh warga sekitar. Kemasan ceramah agama dari berbagai tokoh menjadi kegiatan rutin saat ini. Kekeramatan Asta Juruan pun semakin luar biasa.
Jujukan ‘Ngalap’ Berkah
Asta Juruan kini menjadi salah satu jujukan ngalap berkah. Bila tempo dulu hanya pada saat tertentu, semisal perayaan tahunan dan mereka yang mempunyai nadar. Saat ini, justru banyak yang datang siang dan malam hari.
Seperti layaknya makam waliyullah pada umumnya. Siang dan malam hari banyak yang berkunjung untuk membaca Al -Quran, baca tahlil dan berdoa. Mereka mempunyai keyakinan tersendiri bahwa hajatnya akan terkabulkan atas izin Allah.
Para petani yang berkunjung, juga termotivasi untuk membeli tali hidung sapi yang dijual warga sekitar di depan makam. Dengan membawa pulang tali hidung sapi tersebut, diyakini akan ada berkah tersendiri pada hewan ternaknya.
Biasanya, mereka bernadar (aniat, Madura). Bila sudah mencapai 1 lusin atau 12 ekor sapi, maka satu diantaranya akan “dilepas” (dipersembahkan) pada pengelola Asta Juruan. Kepercayaan ini sejak dulu hingga saat ini tetap tertanam bagi pengunjung yang pekerjaannya bertani.
Jadi jangan heran bila banyak penjual tali hidung sapi di depan Asta (makam) Juruan tersebut.
Baca: Siput Ajaib, Peninggalan Pangeran Siding Margo
Berbeda dengan para pengusaha atau pekerjaan lainnya. Mereka membawa bunga yang diambilkan dari atas batu nisan untuk dibawa pulang setelah selesai berdoa atau membaca Al Quran dan baca tahlil di area pesarean Asta Juruan.(Hartono)