UU Cipta Kerja Disahkan, Buruh Mogok Nasional

Avatar of PortalMadura.com
dok. salah satu buruh saat aksi memegang poster (detik.com)
dok. salah satu buruh saat aksi memegang poster (detik.com)

PortalMadura.Com dari 32 serikat dan federasi pekerja di Indonesia menggelar mogok nasional sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap mengancam hak-hak pekerja.

Juru bicara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar Cahyono mengatakan, aksi mogok nasional telah berlangsung di lokasi kerja para buruh sejak Selasa pagi dan akan berlangsung hingga Kamis, 8 Oktober 2020.

KSPI memperkirakan ada 2 juta buruh dari hampir 10 ribu perusahaan yang ikut mogok nasional, di antaranya di Tangerang, Banten; Purwakarta, Jawa Barat; Batam, Kepulauan Riau; serta Surabaya dan Pasuruan, Jawa Timur.

Berdasarkan dokumentasi yang dikirimkan KSPI, para buruh tampak berkumpul di halaman pabrik dan kantor masing-masing sambil menyuarakan penolakan mereka.

Aksi mogok nasional sedianya ditujukan untuk mendesak agar DPR tidak mengesahkan yang dianggap merugikan buruh.

Namun pada perkembangannya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru mempercepat pengesahan dari yang seharusnya pada Kamis, 8 Oktober 2020 menjadi pada Senin, 5 Oktober 2020.

UU ini kemudian resmi disahkan meski ada penolakan masif dari buruh, lembaga swadaya masyarakat, hingga masyarakat sipil.

“Sikap KSPI tidak berubah. Tetap melakukan mogok nasional, sebagai bentuk protes terhadap disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Kahar melalui pesan tertulis, Selasa (6/10/2020).

Selain itu, KSPI juga tengah mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.

“Itu (judicial review) hal yang nantinya akan kami lakukan ke depan, tetapi untuk saat ini kami belum berpikir ke sana karena berharap pemerintah dan DPR bersedia mendengarkan aspirasi kami dengan segera membatalkan Omnibus Law,” tutur Kahar.

Dilarang unjuk rasa dan “penolakan yang dilemahkan”

Selain mogok nasional, serikat buruh sebelumnya juga merencanakan aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI, Jakarta.

Namun aksi unjuk rasa tersebut tidak bisa terlaksana setelah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tidak menerbitkan surat tanda terima pemberitahuan pengumpulan massa.

Pada Senin, polisi menghadang massa buruh yang telah siap berangkat ke Jakarta dari kawasan industri di Bekasi dan Tangerang.

Polisi beralasan unjuk rasa dilarang untuk mencegah penularan Covid-19, terlebih Jakarta masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dimana kerumunan lebih dari lima orang juga dilarang.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan sebanyak 9.236 personel gabungan polisi, TNI dan Satpol PP dikerahkan untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa.

“Kami sudah siapkan petugas mengamankan tempat yang menjadi jalurnya titik yang krusial,” kata Yusri.

Sementara itu, Juru bicara KSPI Kahar Cahyono juga menuding ada upaya melemahkan aksi protes yang hendak dilaksanakan buruh melalui penyebaran informasi bohong.

“Dari semalam, beredar surat KSPI terkait dengan pembatalan aksi mogok nasional. Kami sampaikan, bahwa surat tersebut adalah hoaks,” kata Kahar.

KSPI mengecam pemalsuan surat tersebut dan memandangnya sebagai upaya untuk melemahkan aksi penolakan Omnibus Law.

“Kami juga mengimbau kepada buruh Indonesia dan elemen masyarakat yang lain untuk mengabaikan surat tersebut,” kata dia.

Mengapa buruh menolak UU Cipta Kerja?

Draf akhir dari Omnibus Law UU Cipta Kerja terdiri dari 905 halaman dan terdiri dari 11 klaster utama antara lain penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, dan kemudahan serta pemberdayaan perlindungan UMKM dan perkoperasian.

Omnibus Law UU Cipta Kerja juga mengubah 79 undang-undang, di antaranya UU Ketenagakerjaan, UU Tata Ruang, dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Presiden KSPI Said Iqbal menuturkan salah satu poin yang ditolak oleh buruh adalah pengurangan nilai pesangon dari maksimal 32 bulan upah menjadi maksimal 25 bulan upah.

Ketentuan 25 bulan upah tersebut kemudian terbagi dari 19 bulan dibayar oleh perusahaan dan enam bulan lainnya dari pemerintah melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Skema JKP ini akan dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BPJS) Ketenagakerjaan yang akan menerima anggaran Rp6 triliun dari negara.

Selain itu, UUU Cipta Kerja menghapus Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kora (UMSK) dan hanya mengakui Upah Minimum Provinsi (UMP) serta Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) secara bersyarat.

“Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk,” kata Said Iqbal.

UU Cipta Kerja juga menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Pasal 59 ayat (4) menyebutkan ketentuan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan PKWT akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan kekosongan hukum.

Selain itu, ketentuan ini juga berpotensi memberi keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas waktu.

“Buruh menolak PKWT seumur hidup,” tutur Said Iqbal.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto berpandangan UU Cipta Kerja bertujuan mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan menengah yang berhadapan dengan tantangan menyediakan lapangan pekerjaan sambil memanfaatkan bonus demografi yang dimiliki.

Menurut dia, Omnibus Law ini sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia yang tertinggal di ASEAN.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.