Mengenal Wayang Kulit, Kesenian Indonesia yang Termasyhur

Avatar of PortalMadura.com
seni pertunjukan wayang kulit
Seni Pertunjukan Wayang Kulit (Foto: wayangku.id)

PortalMadura.com– Indonesia memiliki banyak sekali tradisional, yang sampai saat ini tetap eksis. Kulit merupakan salah satu seni pertunjukan yang cukup menonjol di Indonesia bahkan telah diakui dunia Internasional.

Kesenian yang di gandrungi oleh Presiden Soekarno dan Soeharto ini diketahui hadir semenjak 1500 tahun sebelum Masehi dan berkembang pesat di Pulau Jawa. Serta diyakini erat kaitanya dengan perkembangan agama yang terjadi di Pulau jawa.

Hal ini dapat terlihat dari nama tokoh dan alur cerita dalam wayang kulit, yang umumnya membahas kisah Ramaya dalam Mahabarata. Selain itu pemanfaatan wayang kulit sebagai media dakwah juga tercatata dilakukan oleh wali songo saat menyebarkan Islam.

Seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga, beliau menggunakan seni pertunjukan wayang kulit guna mengundang banyak orang datang.

Dalam pertujukan tersebut Sunan Kalijaga memasukkan nilai-nilai moril dan dakwah islam secara perlahan kepada penonton yang saat itu masih memeluk agama Hindu dan Budha.

Dari fakta  itu dapat diyakini bahwa seni pertunjukan wayang kulit erat sekali dengan suku jawa, bukan hanya sebagai seni pertunjukan saja. Namun iktu andil dalam perubahan di masyarakat suku jawa.

Suku Jawa dan Kesenian Wayang Kulit

Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan jumlahnya di sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu sahaja di Jakarta, mereka juga banyak ditemukan.

Sebagian besar suku bangsa Jawa menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa percakapan harian. Sebuah tinjauan pendapat yang dijalankan oleh Majalah Tempo pada awal dekad 1990-an menunjukkan bahawa hanya sekitar 12% daripada orang-orang Jawa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertuturan harian. Sekitar 18% menggunakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, dengan yang lain menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa utama mereka.

Keturunan-keturunan masyarakat Jawa berpendapat bahawa bahasa Jawa adalah bahasa yang sangat sopan dan mereka, khususnya orang-orang yang lebih tua, menghargai orang-orang yang menuturkan bahasa mereka. Bahasa Jawa juga sangat mempunyai erti yang luas.

Asal Mula Wayang Kulit

PortalMadura.com melansir dari ngertiaja.com, Wayang kulit merupakan pertunjukan kesenian suku Jawa yang usianya telah berabad-abad. Kelahiran wayang kulit berhubungan dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa.

Salah satu Wali Songo penyebar Islam di Jawa mengadopsi wayang Beber, yaitu wayang zaman kerajaan Hindu-Budha. Wayang Beber dimodifikasi sesuai budaya Jawa sehingga dapat digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam.

Pertunjukan Wayang Kulit

Wayang kulit dibuat dari bahan kulit sapi. Pertunjukan kesenian suku Jawa wayang kulit ini diiringi oleh gamelan dan dimainkan oleh dalang. Sepanjang malam, dalang memandu gamelan sekaligus menceritakan kisah-kisah dari berbagai karakter.

Karakter-karakter yang akan dimainkan disusun pada batang pisang yang disebut debog. Karakter-karakter baik diletakkan di sebelah kanan, sedangkan karakter-karakter jahat diletakkan di sebelah kiri.

Dalang harus lihai mengubah intonasi suara dan karakter suara, menceritakan lelucon, hingga bernyanyi. Dalang ditemani oleh penyanyi wanita yang disebut sinden. Sinden bernyanyi dengan iringan gamelan. Pertunjukan wayang kulit biasa dimulai pada pukul 9 malam dan berakhir hingga subuh. Oleh karena itu, seorang dalang harus memiliki stamina tinggi.

Kisah dan Karakter

Pertunjukan wayang kulit dimulai dengan “gunungan”. Penonton melihat pertunjukan wayang kulit di depan layar, yaitu berupa bayangan. Dalang memainkan tokoh-tokohnya di balik layar. Bayangan tersebut dihasilkan dari lampu minyak yang diletakkan di atas-belakang dalang.

Kisah yang ditampilkan pada pertunjukan wayang kulit berasal dari kitab kuno, antara lain Ramayana, Mahabarata dan Purwakanda. Pertunjukan dibagi menjadi 3 babak, yaitu pathet lasem, pathet sanga, dan pathet mayura.

Salah satu adegan yang banyak ditunggu penonton adalah “gara-gara”, yaitu humor khas Jawa. Kadangkala dalang menyelipkan cerita mengenai berita terhangat atau kondisi setempat.

Dalam wayang kulit, ada karakter keluarga yang bernama Punakawan. Punakawan merupakan abdi dan biasanya tampil di antara kisah kepahlawanan. Punakawan membawakan humor dan filosofi hidup. Semar adalah tokoh utama Punakawan, yaitu ayah dari Gareng, Petruk, dan Bagong.

Karakter-karakter ini tidak berasal dari kitab Hindu. Diperkirakan karakter-karakter tersebut ditambahkan untuk mengenalkan nilai-nilai Islam.

Wayang Kulit Kini

Saat ini, wayang kulit merupakan pertunjukan wayang paling terkenal di seluruh dunia. Banyak orang rela begadang semalam suntuk untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit dengan dalang terkenal. Beberapa dalang terkenal di antaranya Ki Nartosabdho, Ki Anom Suroto, Ki Asep Sunarya, Ki Sugino, dan Ki Manteb Sudarsono.

Pada 7 November 2003 UNESCO menetapkan wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. UNESCO menetapkan bahwa wayang kulit merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan.

Pasang Surut Kesenian Suku Jawa

Kesenian merupakan salah satu sistem kebudayaan universal yang terdapat disetia[ masyarakat di dunia. Dengan demikian, kesenian pasti terdapat di semua masyarakat, termasuk masyarakat suku Jawa. Salah satu kesenian yang sangat berperan besar dalam kehidupan masyarakatnya adalah kesenian wayang yang mendapat pengaruh dari India.

Pengaruh dari India ini begitu menonjolnya, terutama karena pengaruh ajaran Hindu yang sudah begitu mengakar dan memasyarakat dalam kehidupan orang Jawa. Sejalan dengan semakin majunya suatu masyarakat, atau bangsa, semakin besar pengaruh yang masuk dan diterima oleh masyarakat bersangkutan.

Salah satu faktor penting yang berperan besar dalam kehidupan masyarakat adalah pengaruh teknologi informasi. Meningkatnya sarana dan prasarana teknologi informasi elektronika, seperti radio dan televisi selain memberi dampak positif, ternyata juga membawa dampak negatif.

Salah satu dampak negatif dari radio dan televisi adalah semakin menurunnya minat masyarakat untuk menyaksikan secara langsung seni pertunjukkan tradisional, seperti seni pertunjukkan wayang. Baik itu seni pertunjukkan seni wayang kulit, wayang orang, maupun wayang golek.

Wayang kulit dan wayang orang sangat populer di masyarakat Jawa, sedangkan wayang golej terutama banyak dipentaskan dan disenangi masyarakat Sunda.

Seni wayang golek sesungguhnya pernah juga ada di masyarakat Jawa, tetapi dalam perkembangannya, kalah bersaing dengan kesenian suku Jawa wayang kulit atau wayang orang. Sehingga sekarang ini hanya wayang kulit dan wayang orang lah yang dapat bertahan di masyarakat Jawa.

Seperti diketahui, hampir semua kesenian wayang biasanya ditampilkan jika ada permintaan untuk tampil dengan sistem kontrak. Baik itu kontrak antara grup kesenian wayang dengan perorangan, mupun kontrak antara grup wayang dengan salah satu instansi, termasuk televisi. Selain tampil dengan sistem kontrak, di Jawa khususnya, pertunjukkan wayang orang juga tampil secara rutin disebuah gedung pertunjukkan.

Dengan semakin menurunnya jumlah penonton, maka pendapatannya juga semakin menurun. Padahal pada umumnya, para senimannya menggantungkan hidupnya dari seni yang digelutinya ini. Sehingga menurunnya jumlah pendapatan atau gaji mereka.

Padahal, mereka bukan saja menanggung hidup diri sendiri, tetapi juga keluarganya. Suramnya kehidupan mereka sudah barang tentu juga berakibat suramnya seni pertunjukkannya.

Akibatnya, banyak dari seni tradisional kesenian suku Jawa ini, yang pernah mengalami masa kejayaannya terpaksa harus gulung tikar dan tidak mampu bertahan hidup sampai sekarang.

Mengenai gulung tikarnya beberapa seni pertunjukkan gtradisional, seperti Ketoprak, wayang orang, drama tradisional, dapat dilihat dengan bubarnya beberapa kelompok yang pernah jaya di masa lalu, misalnya kelompok Dagelan Matara, Sri Mulat dan lain sebagainya. Sementara itu, yang masih tetap bertahan sampai sekarang mengalami nasib “hidup segan mati tak mau”.

Masyarakat industri cenderung konsumeristis, nilai status sosial seseorang di masyarakat bukan lagi dikuru oleh kepemilikan sawah yang luas atau jumlah ternak yang banyak, tetapi sudah berganti dengan berbagai barang elektronika atau mekanik seperti radio, televisi, motor, mobil, dan sebagainya.

Glamornya para bintang layar kaca atau layar perak menjadi idola barunya, dan bukan lagi primadona atau tokoh-tokoh kesenian di daerahnya, termasuk kesenian suku Jawa.

Apalagi dengan terjadinya arus glubalisasi informasi seperti sekarang ini akan semakin menurunkan minat masyarakat untuk menikmati seni pertunjukkan tradisioanal wayang kulit dan seni pertunjukkan lainnya.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.