PortalMadura.Com – Salah satu bulan di antara bulan-bulan yang disebut oleh Allah SWT sebagai bulan haram yaitu bulan Dzulqa’dah. Secara bahasa Dzulqa’dah terdiri dari dua kata yaitu ‘Dzul’ artinya sesuatu yang memiliki, dan ‘Al Qa’dah’ yang artinya tempat yang diduduki.
Kenapa bulan ini disebut sebagai Dzulqa’dah?. Karena pada bulan ini, kebiasaan masyarakat Arab duduk (tidak bepergian) di daerah mereka, dan tidak melakukan perjalanan atau peperangan. (Al Mu’jam Al Wasith, kata: Al Qa’dah).
Nama lain dari bulan ini di antaranya, orang jahiliyah menyebut bulan ini dengan waranah. Ada juga orang Arab yang menyebut bulan ini dengan nama Al Hawa’. (Al Mu’jam Al Wasith, kata: Waranah atau Al Hawa’).
Bulan ini memiliki keutamaan-keutamaan yang jarang umat muslim ketahui. Tapi sebelum itu, terlebih dulu ketahui tentang Dzulqa’dah.
Bulan Dzulqa’dah Termasuk Bulan-bulan Haram
Allah SWT berfirman dalam Q.S. At-Taubah ayat 36: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya (terdapat) empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kalian mendhalimi diri kalian dalam bulan yang empat itu. Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semua. Ketahuilah bahwasanya Allah bersama-sama orang yang bertakwa”.
Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim karya Ibnu Katsir rahimahullah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bulan-bulan haram tersebut ialah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu : “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat di antaranya adalah bulan haram (suci). Tiga dari bulan itu jatuh secara berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga bulan kabilah Mudhar) terletak di antara Jumadi Tsani dan Sya’ban”.
Masyarakat Jahiliyah dan Bulan Dzul Qa’dah
Masyarakat Arab sangat menghormati bulan-bulan haram, baik di masa Jahiliyah maupun di masa Islam, termasuk di antaranya bulan Dzulqa’dah. Di zaman Jahiliyah, bulan Dzulqa’dah merupakan kesempatan untuk berdagang dan memamerkan syair-syair mereka.
Mereka mengadakan pasar-pasar tertentu untuk menggelar pertunjukkan pamer syair, pamer kehormatan, suku, dan golongan, sambil berdagang di sekitar Mekah, kemudian selanjutnya mereka melaksanakan ibadah haji. Bulan ini menjadi bulan aman bagi semuanya, satu sama lain tidak boleh saling mengganggu (Khazanatul Adab, 2/272).
Ada beberapa pasar yang mereka gelar di bulan Dzulqa’dah, di antaranya adalah Pasar ‘Ukkadz. Letak pasar ini sekitar 10 mil dari Thaif ke arah Nakhlah. Pasar ‘Ukkadz diadakan sejak hari pertama Dzulqa’dah hingga hari kedua puluh (al-Mu’jam Al Wasith, kata: Ukkadz).
Setelah pasar Ukkadz selesai, mereka menggelar pasar Majinnah di tempat lain. Pasar ini digelar selama 10 hari setelah selesainya pasar Ukkadz. Setelah selesai berdagang dan pamer syair, selanjutnya mereka melaksanakan ibadah haji (al-Aqdul Farid, 2/299).
Keutamaan-keutamaan Bulan Dzulqa’dah
Pertama
Bulan Dzulqa’dah termasuk bulan haram, sebagaimana telah disebutkan. Bulan haram atau disebut juga bulan yang disucikansebagaimana yang disebutkan oleh At-Thabari dalam kitab tafsirnyaialah bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai bulan yang suci lagi diagungkan kehormatannya.
Di mana di dalamnya amalan-amalan yang baik akan dilipatgandakan pahalanya, sedangkan amalan-amalan yang buruk akan dilipatgandakan dosanya. Dzulqa’dah mempunyai keistimewaan karena di dalamnya Allah melarang manusia untuk berperang.
Di dalam Dzulhijjah manusia mempersiapkan diri untuk melaksanakan manasik haji. Pada bulan Muharram mereka kembali ke negeri mereka masing-masing. Sedangkan pada bulan Rajab, orang-orang dari berbagai pelosok negeri yang datang ke Baitullah kembali ke negeri mereka dalam keadaan aman.
Kedua
Di antara keutamaannya, Bulan Dzulqa’dah juga merupakan salah satu dari bulan-bulan haji (asyhrul hajj) yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui…” (Qs. al-Baqarah: 197).
Dalam Tafsir Ibni Katsir (II/5, 356) dikemukakan bahwa asyhur ma’lumaat (bulan-bulan yang telah diketahui) merupakan bulan yang tidak sah ihram untuk menunaikan haji kecuali pada bulan-bulan ini. Dan ini pendapat yang benar (sahih).
Ketiga
Di antara keistimewaan bulan Dzulqa’dah, bahwasannya pada bulan ini Rasulullah menunaikan ibadah umrah hingga empat kali, dan ini termasuk umrah beliau yang diiringi ibadah haji.
Meskipun ketika itu beliau berihram pada bulan Dzulqa’dah dan menunaikan umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan haji (Lathaa-iful Ma’aarif, karya Ibnu Rajab).
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak empat kali, semuanya di bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang dilakukan bersama hajinya. Empat umrah itu adalah umrah Hudaibiyah di bulan Dzulqa’dah, umrah tahun berikutnya di bulan Dzulqa’dah, …(HR. Al Bukhari).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwasannya menunaikan umrah di bulan-bulan haji sama halnya dengan menunaikan haji di bulan-bulan haji. Bulan-bulan haji ini dikhususkan oleh Allah SWT dengan ibadah haji, dan Allah mengkhususkan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya.
Sementara umrah merupakan haji kecil (hajjun ashghar). Maka, waktu yang paling utama untuk umrah adalah pada bulan-bulan haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan haji tersebut (Zaadul Ma’aad II/96).
Karena itu, terdapat riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa mereka suka menunaikan umrah pada bulan Dzulqa’dah (Lathaa-iful Ma’aarif hal. 456). Akan tetapi, ini tidak menunjukkan bahwa umrah di bulan Dzulqa’dah lebih utama dari pada umrah di bulan Ramadan. Karena telah jelas dalil-dalil tentang besarnya keutamaan umrah di bulan Ramadan sebagaimana yang telah dijelaskan (lihat juga Zaadul Ma’aad II/95-96).
Keempat
Di antara keistimewaan lain dari bulan Dzulqa’dah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji kepada Nabi Musa ‘alaihis salam untuk berbicara dengannya selama tiga puluh malam di bulan Dzulqa’dah, ditambah sepuluh malam di awal bulan Dzul Hijjah berdasarkan pendapat mayoritas para ahli tafsir (Tafsir Ibni Katsir II/244), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (untuk memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)…” (Qs. al-A’raaf: 142).(islamidia.com/Putri)