Hukum Istri Cari Nafkah Menurut Pandangan Islam?

Avatar of PortalMadura.com
Hukum Istri Cari Nafkah Menurut Pandangan Islam?
Ilustrasi

PortalMadura.Com – Derajat perempuan dalam islam memang sangatlah tinggi. Maka dari itu kaum wanita mempunyai berbagai kesempatan untuk memiliki peluang dalam bekerja, seperti kesempatan yang dimiliki laki-laki. Lantas bagaimana hukum menanggapi hal tersebut. Dimana istri bekerja dalam mencari nafkah?.

Dikisahkan pada masa Rasulullah, contoh konkret seorang sosok perempuan yang sukses mengembangkan karir serta diiringi dengan ketakwaannya kepada Allah SWT. Dilansir dari Repeblika.co.id, Selasa (31/3/2020). Sosok tersebut yakni Sayyidah Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW.

Beliau dikenal sebagai saudagar yang kaya raya, bahkan beliau mampu melakukan perniagaan dan berekspedisi hingga ke bermacam negeri. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan istri Abdullah bin Mas'ud, Rithah, datang menemui Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini karena saya, suami saya, dan anak saya tidak memiliki harta apapun,”. Kemudian Rasulullah pun menjawab: “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka”.

Hadis di atas diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadis, seperti Imam Ahmad, Imam Ibnu Sa'd, Imam Ibnu Hibban, dan Imam Baihaqi. Yang artinya, seorang perempuan dan istri diperbolehkan asalkan dilihat dari unsur kemaslahatan yang ada dan disesuaikan dengan kondisi yang terjadi.

Status pekerjaan perempuan ini sama halnya dengan laki-laki dalam hal kesempatan, asalkan keduanya sama-sama berada dalam jalur kebaikan dan telah menimbang berbagai unsur hak dan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati bersama.

Dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal karya KH Ali Mustafa Yaqub, terdapat sebuah pertanyaan dari seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang mengadu nasib ke negeri sebrang sementara sang suami berada di Tanah Air untuk menjaga anak-anak. Terkait hal ini, KH Mustafa Yaqub mengingatkan kepada para pasangan suami-istri untuk melihat kembali tanggung jawab masing-masing sebagaimana yang tertulis di buku nikah.

Menurutnya, apa-apa yang tertulis dalam buku nikah merupakan kesepakatan bersama yang di dalamnya tertera hak serta kewajiban. Meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama dibolehkan asal tidak menanggalkan unsur fundamental dalam pembentukan karakter anak.

Baca Juga: Umat Muslim, Ini Hukum Islam tentang Memutus Tali Silaturahmi

Mengenai hak dan kewajiban salah satunya disebutkan dalam hadis riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “Fa qala lahu (Abi Darda) Salman Inna lirabbika ‘alaika haqqan wa linafsika ‘alaika haqqan liahlika ‘alaika haqqan fa'thu kulla dzi haqqin haqqahu fa-ata Nabi SAW fadzakara dzalika lahu faqala Nabi SAW shadaqa Sulaiman,”.

Yang artinya: “Salman Al-Farisi berkata pada Abu Darda, sesungguhnya Tuhanmu itu mempunyai hak atasmu, dirimu juga mempunyai hak atasmu, dan keluargamu juga mempunyai hak atasmu. Kemudian perkataan ini dilaporkan kepada Nabi Muhammad SAW dan beliau berkata, ‘Benar sekali apa yang dikatakan Salman'.

Memenuhi hak dan kewajiban sebaik-baiknya merupakan ajaran islam yang wajib ditaati. Dan untuk seseorang yang telah menikah, maka perannya akan menjadi multifungsi baik sebagai istri atau suami, sebagai ayah atau ibu, guru bagi anak-anaknya, sebagai anak bagi ibu dan ibu mertua, dan seterusnya.

Dari peran tersebut terdapat unsur hak dan kewajiban yang berbeda yang harus dipenuhi juga. Menurut KH Mustafa Yaqub, apabila ekonomi menjadi masalah sentral yang merujuk pada perpisahan antara suami dengan istrinya, atau ibu dengan anaknya, maka hal itu akan menyebabkan terbengkalainya hak dan kewajiban yang telah diatur agama.

Beliau menyarankan alangkah baiknya bagi istri yang berprofesi sebagai TKW di negeri orang yang juga memiliki anak untuk kembali ke Tanah Air. Menurut beliau, mencari rezeki di dalam negeri masih luas tersedia dan dijamin langsung oleh Allah SWt.

Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Majah:

“Ya ayyuhannasu-ttaqullaha wa ajmilu fi thalabi fa inna nafsan lan tamuta hatta tastaufi rizqaha,”. Yang artinya: “Wahai para umat manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam mengais rezeki. Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal hingga semua ketentuan rezekinya diberikan,”. Waallahu A'lam.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.