PortalMadura.Com, Jakarta – Anggota Komite II DPD RI, Ahmad Nawardi menilai rencana Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka keran impor beras akan mengancam produksi padi pada tahun ini sekaligus memberikan dampak negatif terhadap perekonomian nasional.
“Impor beras membawa konsekuensi terhadap turunnya harga gabah di tingkat petani, disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padi, mengurangi cadangan devisa dan ketergantungan terhadap pangan luar negeri. Apalagi bulan Februari sudah masuk musim panen. Kalau Impor tetap dipaksakan, harga gabah petani dipastikan anjlok,” kata Nawardi dalam siaran pers yang diterima redaksi pada Minggu, (14/01/2017).
Senator Jawa Timur itu juga menyebut, nilai tukar petani dalam setahun terakhir cenderung stagnan karena berada di kisaran 101-103. Sementara itu, upah buruh tani riil terus turun sehingga menunjukkan laju inflasi lebih tinggi ketimbang kenaikan pendapatan buruh tani.
“Ini indikator kesejahteraan petani sudah memburuk. Apalagi beras impor masuk, tentu akan memperburuk kehidupan petani. Seharusnya pemerintah tidak boleh gegabah membuka keran impor,” ujar mantan anggota DPRD Jawa Timur tersebut.
Terlebih data Kementrian Pertanian menyebutkan jika produksi beras di tahun 2017 sudah surplus. Dimana produksi gabah kering giling nasional sekitar 6 juta ton, setara dengan beras 3 juta ton. Sedangkan kebutuhan konsumsi hanya 2,6 juta per bulan seluruh Indonesia.
Baca: Pemerintah Impor 500 Ribu Ton Beras dari Thailand dan Vietnam
“Kementrian Pertanian memastikan jika pada bulan April sampai Mei 2018 stok beras nasional masih aman. Kalau impor beras masih dilakukan, pemerintah memang sengaja ingin membunuh petani,” ucap Nawardi.
Apalagi dengan serapan beras oleh Perum Bulog hingga 2,1 juta ton ditambah stok di gudang milik Perum Bulog diklaim masih mencapai 1 juta ton, menurut Nawardi pasokan beras di pasaran tidak perlu dikhawatirkan.
Bahkan untuk wilayah Jawa Timur, stok beras dipastikan aman hingga awal tahun 2018. Bahkan penyerapan beras di Jatim menjadi tumpuan ketersediaan pangan dan program penanggulangan inflasi nasional. Sebab, kebutuhan beras di Jatim hanya 400 ribu-500 ribu ton. Artinya, Jatim dapat berkontribusi pada penyediaan beras untuk kawasan Indonesia Timur, Tengah, dan Barat.
Baca: Pemerintah Nyebut Petani Juga Konsumen Beras Impor
“Tahun lalu beras asal Jatim berkontribusi 440 ribu ton untuk cadangan pangan nasional. Belum termasuk produksi beras dari daerah lain di luar Pulau Jawa. Dengan situasi demikian, impor tidak dibutuhkan. Sebenarnya pekerjaan rumah pemerintah cukup memperbaiki skema penyerapan beras rakyat dan mengevaluasi mata rantai distribusi, sehingga pasokan aman dan harga tetap stabil di pasaran,” jelas mantan wartawan Tempo ini.
Oleh karena itu, keputusan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita untuk impor besar 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand pada sisi lain juga berpotensi memperburuk nilai tawar Presiden Jokowi di mata petani. Terlebih Presiden Jokowi tegas menolak impor pangan, termasuk beras. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada petani nasional dalam meningkatkan jumlah produksi sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
“Apalagi proses impornya pun dianggap bermasalah karena dilakukan oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Padahal Bulog mempunyai infrastruktur perberasan yang paling memadai. Bahkan dalam Intruksi Presiden (Inpres) juga disebutkan impor beras menjadi kewenangan Bulog. Dengan demikian kegiatan impor selain membunuh petani kita juga diduga sarat muatan politis,” demikian tegas Ketua HKTI Jawa Timur tersebut. (*)