Maulid, HAM, dan Muhammad Sang Rahmat

Avatar of PortalMadura.Com
Maulid, HAM, dan Muhammad Sang Rahmat
dok. Achmad Fauzi (Foto: Istimewa)

Oleh Achmad Fauzi
(Mantan Jurnalis. Kini, Wabup )

Dan, tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al-Anbiya'[21]: 107).

Begitulah bunyi al-Qur'an dalam mengistimewakan sosok Nabi akhir zaman, Muhammad sang pembawa rahmat. Bahkan dalam tafsir Ibnu Katsir, Muhammad lahir bukan sebuah kebetulan, ia sengaja diutus ke muka bumi ini untuk memberikan rahmat bagi semesta: membebaskan yang teraniaya, mendamaikan yang menegangkan, menguatkan yang lemah, pula memartabatkan yang nestapa.

Menjadi sangat beralasan penulis sekelas Karen Armstrong menggambarkan sosok Nabi seperti manusia yang nyaris sempurna, karena sebagai manusia, membawa pesan Tuhan kepada umat manusia lainnya bukanlah perkara mudah. Apalagi pesan itu untuk masyarakat Arab yang gelap gulita.

Kita tahu, padang pasir tempat manusia-manusia yang angkuh, egois, biadab, tak pernah damai dan tenang. Kaum yang dulu disebut badui itu hampir tak pernah menghargai sesama kecuali kabilahnya. Sikap tamak dan serakah hingga saling hantam berebut materi seolah hal yang biasa.

Diperparah oleh “kegalauan” politik dan matinya para penegak hukum. Akhirnya pesta seks, mabuk-mabukan, dan hasrat bermain judi semakin menggelora. Sementara agama tak lebih dari simbol saja, sebab yang mereka tahu hanya politeisme animis.

Maka melanggar syariat dan menindas yang lemah itu dipertontonkan setiap hari. Atas dasar itulah, Allah mengutus seseorang untuk mengikis praktik yang tak manusiawi itu. Misinya untuk meluruskan pelanggaran syariat, dan membebaskan manusia dari penindasan, baik itu penindasan sosial, politik, ekonomi, maupun keyakinan.

Selama kurang 23 tahun (13 tahun di Mekah, 10 tahun di Madinah), Nabi terus berjuang dengan segala upaya untuk membebaskan masyarakat dari krisis agama, moral, sosial, politik, dan ekonomi. Beliau berusaha mengeluarkan mereka dari gulita yang menggurita. Walaupun Nabi tahu bahwa membuat yang gelap menjadi terang membutuhkan sinar “ajaib”.

Dan itu benar, diludahi, dicerca, menerima fitnah hingga terasing (hijrah) dari Mekkah dirasakan oleh Nabi. Namun, saat itu Nabi yakin, kebaikan takkan pernah kalah. Kesabaran membebaskan masyarakat dari gulita memberikan suluh bagi masyarakat Arab.

Sehingga dalam sebuah ungkapan para tokoh-tokoh belahan dunia, tatanan masyarakat yang dibangun Nabi adalah salah satu contoh nyata masyarakat berperadaban yang madani; tentram, damai dan penuh dengan kesejahteraan.

Pada bulan yang sama (10 Desember mendatang), kita juga akan memperingati Hari Hak Asazi Manusia (). Tentu ini juga bukan sebuah kebetulan (maulid dan HAM). Ini adalah peringatan tentang sebuah nilai kemanusiaan yang mulai ditinggal oleh manusia. Sebuah jati diri yang pernah diwariskan oleh Nabi.

Sekadar menyebut contoh, tak perlu repot-repot kita membahas HAM hingga sampai pada kasus Munir dkk. Terlalu jauh saya kira, Lebih baik kita menziarahi “diri” sebagai manusia. Bukankah kita akhir-akhir ini kerap “mendewakan” diri sendiri dan memuja ego?.

Keegoisan kita itu secara tidak sadar telah merampas hak orang lain untuk hidup tentram, damai dan bahagia. Bahkan karena kita tak pernah mau berbagi dengan yang lain telah melupakan tugas kita untuk melindungi manusia dari segala penderitaan dan ancaman. Kerap kali kita saksikan alam mulai mengamuk dan menghantam hidup manusia dengan bencana, dari tsunami hingga gempa bumi. Itu semua terjadi karena kita telah merampas hak alam untuk lestari.

Lagi-lagi sekadar menyebut contoh, kesalahan yang juga kerap kali kita ulang ialah mengakibatkan manusia yang satu membuat nestapa manusia lainnya. Tak sedikit karena ia merasa kuat, maka ia merasa boleh untuk menyiksa dan menindas yang lemah. Hukum rimba seolah bersemi, yang kuat dapat melakukan apa aja, sementara yang lemah dibuat tak berdaya.

Dari titik inilah sebenarnya HAM harus dipahami, ia dapat melindungi yang lemah dari bentuk penindasan. Jadikan HAM sebagai dasar dari beragam hukum dan aturan, supaya hidup manusia jauh dari nestapa dan rasa takut.

Oleh karena itu, dari sudut pandang yang amat sederhana, bahwa setiap manusia, apapun agamanya, golongannya, rasnya, jenis kelaminnya, cacat atau tidak, memiliki martabat yang sama di dalam dirinya. Ia berdiri sejajar dalam mengarungi kehidupan, meski beragam. Walaupun kerap disangkal, martabat akan selalu bersemayam dalam diri setiap insan. Tak dibenarkan jika manusia seperti kita melakukan bentuk penindasan. Karena pada dasarnya, setiap diri itu berharga.

Kini, dan hari HAM yang secara kebetulan nyaris bersamaan harus dijadikan refleksi nyata untuk mencoba melindungi kebebasan manusia sebagai warga negara yang aktif terlibat di dalam keputusan politik, hak untuk bekerja dan mendapat kehidupan yang layak, serta hidup sesuai dengan tradisi dan kepercayaannya.

Maulid Nabi (juga hari HAM), bukanlah sekadar hajatan dan seremonial tahunan semata. Inilah momentum tepat untuk merealisasikan spirit pembebasan dalam melakukan perubahan, agar bangsa ini bisa keluar dari krisis yang kian kronis. Wallahu A'lam.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.