Stigma keras dan kasar itu tercipta salah satunya diidentikkan dengan tradisi Carok yang telah menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat Madura, sehingga yang melekat adalah Madura sebagai Pulau yang identik dengan kekerasan (Suhaidi, 2009).
Carok sebagai fenomena yang klasik, terjadi di Madura bermula dari legenda Pak Sakerah pada jaman Belanda, yang selalu membawa clurit bahkan tidak pernah meninggalkan clurit setiap bepergian.
Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan Jawa Timur, orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindasan dengan bersenjatakan clurit. Maka terjadilah Carok di kota garam tersebut.
Fenomena Carok sampai sekarang tak kunjung hentinya dengan alasan “harga diri”. Hal tersebut sesuai dengan semboyan orang Madura yang berprinsip adalah “ango’an poteya tolang etembang poteya mata” (lebih baik putih tulang (mati) dari pada berputih mata (malu).
Aspek psikologis merupakan salah satu penyebab atau pemicu orang Madura melakukan Carok. Dikatakan oleh Abu Ahmadi (2003) bahwa fenomena tersebut didesak oleh tekanan psikologis pelaku, karena gejala psikologis adalah faktor penyebab seseorang berbuat.
Oleh karena itu Carok cenderung dilakukan karena adanya motif atau dorongan dari dalam dirinya sendiri. Sejarah Carok menunjukkan, sebelum terjadinya Carok kondisi emosional pelaku tidak bisa diredam kecuali dengan melakukan Carok, bahkan ungkapan orang Madura berbunyi “Lokana daging bisa ejhai’, lokana ate tadhe’ tambhana kajhabana ngero’ dara” (lukanya daging masih bisa dijahit, namun jika hati terluka tidak ada obatnya, kecuali minum darah) menunjukkan kelabilan si pelaku tersebut.