PortalMadura.Com, Sumenep – Tari Ghâmbhu [Gambu] nyaris kurang dikenal oleh warga Sumenep, Madura, Jawa Timur. Selama ini, kalah populer dengan Tari Moang Sangkal yang selalu disajikan pemerintahan daerah.
Padahal, Tari Ghâmbhu yang lebih dikenal dengan sebutan Tari Keris merupakan hasil karya Arya Wiraraja yang diciptakan di Keraton Batuputih. Dalam Serat Pararaton, Tari Ghâmbhu juga disebut Tari Silat Sudukan Dhuwung.
Keraton Batuputih ada di buku sejarah tulisan Zainal Fattah [1951] mantan Bupati Pamekasan dan Drs. Abdurrahman [1971] mantan Bupati Sumenep [berkuasa 1963-1974].
Baca Juga : Misteri Bunyi Gamelan di Bekas Keraton Batuputih, Muncul pada Pasaran Legi
Baca Juga : Jejak Wanita Nariswari di Keraton Batuputih Sumenep
Baca Juga : Warga Takut Bangun Rumah dan Tempat Usaha di Bekas Keraton Batuputih
Baca Juga : Misteri Bayangan Kakek Bersorban di Bekas Keraton Batuputih
Tari Silat Sudukan Dhuwung itu diajarkan Arya Wiraraja kepada para pengikut Dyah Wijaya [Raden Wijaya]. Dyah Wijaya merupakan pendiri dan raja pertama Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309 masehi.
Sejarawan dan budayawan Sumenep Tadjul Arifien R menjelaskan, Dyah Wijaya mengungsi ke Keraton Batuputih, dikala padi sedang menguning, berarti bulan Maret dan berangkatnya ke Daha waktu mendekati musim barat, berarti sekitar bulan Agustus atau Oktober.
“Jadi, Dyah Wijaya bersama rombongan berada di Batuputih sekitar lima bulan,” kata Tadjul Arifien R, Minggu (5/6/2022) menukil serat paparaton.
Selama ada di Keraton Batuputih, Arya Wiraraja melatih beladiri atau perang-perangan kepada para pengikut Dyah Wijaya [10 orang] dengan memakai berbagai senjata yakni tombak, panah, pedang dan keris.
Menurut Tadjul, dikala Dyah Wijaya berangkat ke Daha, bersamaan dengan hari raya Galungan. Saat itu, Jayakatwang mengadakan berbagai atraksi yang dipusatkan di Manguntur. Semua para senapati dan prajurit keraton ikut berlomba dan bertanding.
Selain itu, ada lomba lari, lomba naik kuda, memanah, main tombak dan terakhir ketangkasan bermain keris. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi maju ke arena pasasraman untuk diadu dengan para Senapati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet.
“Ternyata semua pertandingan dimenangkan oleh para pengawal Dyah Wijaya,” ujar Tadjul.
Sumber lain menyebutkan, Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja tersebut lama sekali tidak diatraksikan. Namun, pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan Agung Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya.
Pada masa itu, Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Kanjeng Pangeran Ario Anggadipa. Lalu, tarian tersebut dihidupkan kembali sekitar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan diubah istilah menjadi Tari Gambu (dalam logat Sumenep).
Pemerintah Kabupaten Sumenep sendiri menghidupkan Tari Ghâmbhu pada peringatan hari jadi ke 744 tahun 2013. Kala itu, digelar besar-besaran dengan melibatkan 600 penari dari berbagai sanggar tari yang ada di Sumenep. Simpang 4 jantung kota dipilih menjadi tempat pagelaran Tari Ghâmbhu dan menyedot wisatawan mancanegara.
Sebutan atau penamaan tari [nama lain] yang diciptakan Arya Wiraraja Sumenep:
- Tari Ghâmbhu
- Tari Gambu
- Tari Keris
- Tari Kambuh
- Tari Silat Sudukan Dhuwung
(*)