Hukum Pers & Eksistensi Media di Era Digital

Avatar of PortalMadura.com
Hukum Pers & Eksistensi Media di Era Digital
Ilustrasi . (Foto: Shutterstock)

Tetapi walau demikian, masih banyak persoalan yang muncul di era digital dan maraknya media sosial. Saling berpacu antara keberadaan media massa ( koran, tv, radio dan lain-lain) dengan keberadaan media sosial, dari FB, WA, Instagram, Wechat dan lainnya. Menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi kaum kuli tenta. Dalam proses penyampaian informasinya juga persoalan hukum yang timbul dalam sebuah karya jurnalistiknya.

Lalu, di tengah multi dimensi sosial saat ini, kerja profesionalisme wartawan sedang diuji oleh keberadaan media sosial yang marak di kalangan masyarakat. Untuk mendapatkan informasi tidak saja hadir atau didapatkan dari sebuah perusahaan media massa koran, tv, radio, tapi sudah bisa disajikan melalui media sosial melalui gawai yang dimiliki. Akibatnya peran media massa tersebut lambat laun menjadi tidak tergerus dan posisi jurnalis tidak ekslusif lagi.

Menjadi reporter atau wartawan sudah bukan hal yang susah dan tidak memerlukan ilmu atau ijazah khusus untuk bisa menyandang sebagau juru berita. Dari petani, buruh hingga para petinggi pemerintahan pun bisa langsung menyajikan berita, informasi yang dengan cepat tersaji di media sosial. Walaupun kita tahu sajian mereka dari sekedar memenuhi syarat sebuah berita dan tidak memandang aturan kaidah sebuah syarat berita sebagaimana diatur dalam kode etik jurnalistik.

Wartawan senior Indonesia, Parni Hadi mengatakan, perubahan wajah pers nasional diakuinya sejak genderang reformasi tahun 1998. Pada era kepemimpinan Presiden Republik Indonesia ke 3 itu merupakan puncak kebebasan pers Indonesia. Sejak saat itu banyak menjamur media-media, baik surat kabar, radio hingga televisi. Bersamaan dengan menjamurnya media, maka bermunculanlah wartawan atau juru berita mulai dari tingkat wilayah pusat hingga di daerah di seluruh penjuru Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semakin kekinian, maka semakin pesat perkembangan media-media massa, maka lalu tibalah di zaman era digital seperti yang dialamani saat ini. Disamping terus berkembangnya media-media baru dan wartawan baru, maka bermunculan pulalah wadah anyar juga yakni media sosial. Badai media ini pulalah melahirkan banyak juru berita lagi, yang tidak saja merasuk hingga ke relung desa dan daerah terpencil, tapi hampir di sela-sela kehidupan manusia di seluruh dunia.

Digitalisasi telah membawa gelombang perubahan dipelbagai bidang, tak terkecuali media. Persoalan yang muncul adalah maraknya distorsi informasi dan berita bohong atau yang kinal dengan berita hoax. Tidak boleh tidak, maka media atau pers harus menjadi insan penyaring maupun penjernih informasi dengan membeberkan fakta kenyataan tanpa memihak pada salah satu informasi yang pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Karena persoalan yang dihadapi oleh media sosial adalah timbulnya efek pemberitaan dari media sosial. Pada era digital menjadikan masyarakat bisa menyampaikan dan mendapatkan informasi dengan mudah, kendatipun tanpa saringan. Karena itu kerapkali masyarakat termakan isu atau berita hoax yang seringkali berakibat pada kesenjangan sosial atau bahkan berpengaruh pada sara dan disintegrasi bangsa.

Media massa pers tidak boleh tidak harus tetap pada fungsinya yakni tetap obyektif dan independen. Pers harus kokoh dalam menyajikan berita bertumpu pada UU 40 Tahun 1999 tentang Pers dan harus berlandaskan kode etik jurnalistik (KEJ).Tidak mudah memang, tapi harus mentaati UU dan KEJ agar independensi tetap terjaga. Sebab bilamana keluar dari jalur UU dan KEJ, bukan tidak mungkin masuk pada delik pers yang akan berurusan dengan hukum.

Delik pers pada era digital saat ini memang sangat mungkin terjadi bagi para pekerja media. Karena menurut Loebby Logman, bahwa delik pers sepertinya diartikan sebagai suatu tindak pidana melalui alat cetak yang dilakukan oleh lembaga pers. Artinya yang menggunakan barang-barang cetak. Yang isinya merupakan pernyataan pikiran atau perasaan seseorang dan dalam suatu publikasi untuk dapat menimbulkan suatu kejahatan.

Artinya, jika itu dilakukan oleh pekerja media baik perusahaan pers atau wartawan dan dipublikasikan atau diumumkan kepada publik atau khalayak ramai, dan dapat menimbulkan sebuah kejahatan perbuatan merupakan delik pers. Karena itu sangat gampang kita terjerat delik pers, mengingat tidak hanya kepada jurnalis saja tetapi kepada perusahaan pers dan media sosial yang mempublikasikan suatu yang menimbulkan kejahatan di khalayak ramai.

Jadi pandangan penulis, delik pers ini, dalam era digital ini bisa menjerat juga media sosial yang saat ini marak ini. Mengingat tidak jarang kita jumpai penyebaran berita bohong atau hoax melalui media sosial yang bisa dikategorikan sebagai bagian delik pers. Karena sudah termasuk dalam kategori bahwa unsur penggunaan barang-barang cetak dalam mempublikasikan pernyataan pikiran atau perasaan seseorang.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.